Pelajaran dari Hutan Papua: Ketulusan Marsellinus Wellip, Sang Mantri yang Mengajarkan Arti Hidup pada Anak-Anak Kita
Assalamualaikum para Ayah dan Bunda hebat,
Beberapa malam lalu, saat ketiga jagoan saya sudah terlelap, saya menyempatkan diri untuk membaca sebuah kisah. Biasanya, waktu seperti ini saya gunakan untuk merencanakan materi homeschooling esok hari atau sekadar melepas lelah dengan secangkir teh hangat. Namun, malam itu berbeda. Jari saya berhenti menggulir layar pada sebuah nama: Marsellinus Wellip. Sebuah nama yang mungkin asing di telinga kita, tetapi gaung pengabdiannya menembus lebatnya hutan Papua hingga sampai ke ruang baca saya.
Sebagai seorang ibu yang memilih jalur homeschooling dan sering berbagi cerita dalam sesi parenting, saya selalu percaya bahwa pelajaran terbaik tidak selalu datang dari buku teks. Pelajaran hidup yang paling berharga sering kali tersembunyi dalam kisah nyata, dalam perjuangan dan ketulusan hati manusia lain. Dan kisah Pak Marsel, sang mantri dari Distrik Towe, adalah kurikulum terbaik tentang empati, ketangguhan, dan arti sejati dari kebermanfaatan yang bisa kita ajarkan pada anak-anak kita.
Mari saya ajak Ayah dan Bunda untuk sejenak meninggalkan riuhnya perkotaan dan hiruk pikuk keseharian kita, untuk menjelajah ke sebuah tempat di ujung timur Indonesia, tempat seorang pahlawan tanpa tanda jasa mendedikasikan hidupnya.

Menembus Batas: Ketika Panggilan Hati Lebih Kuat dari Segala Rintangan
Coba kita bayangkan sejenak. Distrik Towe, sebuah wilayah di pedalaman Papua yang untuk mencapainya saja butuh perjuangan luar biasa. Tidak ada jalan aspal mulus, tidak ada sinyal internet kencang. Yang ada hanyalah hutan belantara, sungai deras, dan medan yang terjal. Perjalanan dari kota terdekat bisa memakan waktu berhari-hari, kadang berminggu-minggu jika cuaca tak bersahabat.
Di sinilah Marsellinus Wellip, seorang pria lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), memilih untuk mengabdikan ilmunya. Bukan di rumah sakit megah dengan fasilitas lengkap, melainkan di sebuah puskesmas pembantu (Pustu) yang sederhana, bahkan sering kali ia harus menjadi “pustu berjalan” dari satu kampung ke kampung lain.
Saat pertama kali membaca tentang ini, saya langsung teringat percakapan dengan si sulung beberapa waktu lalu. Ia mengeluh karena koneksi internet sedikit lambat saat ia mencari bahan untuk tugasnya. Sebuah keluhan yang sangat wajar di dunianya. Namun, kisah Pak Marsel ini seolah menjadi tamparan lembut bagi saya. Betapa seringnya kita dan anak-anak kita mengeluh tentang fasilitas yang kurang, padahal di belahan lain negeri ini, ada seseorang yang berjalan kaki puluhan kilometer, menyeberangi sungai tanpa jembatan, hanya untuk memastikan seorang ibu bisa melahirkan dengan selamat atau seorang anak mendapatkan imunisasi.
Pak Marsel adalah mantri pertama yang berani menetap di Towe. Sebelumnya, banyak tenaga kesehatan yang datang, namun tak lama kemudian menyerah pada keadaan dan memilih kembali ke kota. Bisa dimaklumi, kondisi di sana memang berat. Selain tantangan geografis, ia juga dihadapkan pada tantangan kultural. Masyarakat Suku Towe pada awalnya sangat tertutup dan lebih memercayai pengobatan tradisional dari kepala suku. Mereka menatapnya dengan curiga, menganggapnya sebagai orang asing yang membawa cara-cara baru yang tak mereka pahami.
Di sinilah pelajaran pertama yang ingin saya bagikan pada anak-anak saya: kegigihan yang lahir dari niat tulus. Pak Marsel tidak menyerah. Ia tidak memaksa, tetapi mendekati dengan hati. Ia tinggal bersama mereka, belajar memahami adat istiadat mereka, dan menunjukkan dengan perbuatan bahwa niatnya tulus untuk membantu. Ia tidak hanya datang sebagai petugas kesehatan, tetapi sebagai sahabat, sebagai keluarga. Perlahan tapi pasti, pintu hati masyarakat Towe pun terbuka.

Kurikulum Kehidupan dari Sang Mantri Hutan
Dalam homeschooling, kami sering membahas tentang pahlawan. Anak-anak saya mengenal nama-nama besar seperti Pangeran Diponegoro atau Ibu Kartini. Tapi saya ingin mereka tahu bahwa pahlawan tidak selalu mereka yang namanya terukir di buku sejarah. Pahlawan adalah mereka yang memberikan dampak nyata bagi sekelilingnya, sekecil apa pun itu. Dan Marsellinus Wellip adalah pahlawan dalam arti yang sesungguhnya.
Pelajaran tentang Empati dan Pelayanan. Bayangkan, Pak Marsel sering kali harus meninggalkan keluarganya sendiri untuk mengobati warga yang sakit di kampung terpencil. Ia dibayar dengan apa? Terkadang dengan hasil kebun seperti pisang atau ubi. Jauh dari cukup untuk standar hidup kita. Namun, ia tidak pernah mengukurnya dengan materi. Kebahagiaannya adalah melihat pasiennya sembuh, melihat angka kematian ibu dan anak menurun drastis, dan melihat masyarakatnya mulai memahami pentingnya hidup sehat.
Ini adalah pelajaran empati level tertinggi. Saya ingin anak-anak saya belajar bahwa nilai seorang manusia tidak diukur dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia berikan. Bahwa menolong sesama bukanlah tentang “apa yang akan saya dapatkan?”, melainkan tentang “apa yang bisa saya lakukan untukmu?”.
Pelajaran tentang Inovasi dan Adaptasi. Keterbatasan fasilitas tidak membuat Pak Marsel berhenti berinovasi. Ia memanfaatkan apa yang ada. Ia mengajarkan warga tentang pentingnya gizi dengan menunjuk pada sayuran yang tumbuh di sekitar mereka. Ia membangun jamban sederhana untuk mencegah penyebaran penyakit. Ia melatih kader-kader kesehatan dari pemuda setempat agar ilmunya bisa terus berlanjut.
Ini adalah esensi dari problem solving yang selalu saya coba tanamkan dalam proses belajar anak-anak. Bahwa masalah bukanlah tembok untuk berhenti, melainkan tantangan untuk mencari jalan keluar yang kreatif. Pak Marsel menunjukkan bahwa dengan sumber daya terbatas pun, kita bisa menciptakan perubahan besar jika kita mau berpikir di luar kotak.
Pelajaran tentang Integritas. Kisah Pak Marsel bukanlah dongeng yang baru ditulis kemarin. Pengabdiannya sudah berjalan puluhan tahun. Dedikasinya ini bahkan mendapatkan pengakuan tingkat nasional ketika ia dianugerahi apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun 2014. Penghargaan ini diberikan oleh Astra kepada para pemuda inspiratif yang tak kenal lelah membawa perubahan positif di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.
Menerima penghargaan sebesar itu tentu sebuah kebanggaan. Namun, yang lebih mengagumkan adalah, penghargaan itu tidak mengubahnya. Ia tetaplah Marsellinus Wellip yang sama, mantri sederhana yang setiap hari siap sedia menembus hutan demi panggilan kemanusiaan. Ini adalah pelajaran tentang integritas. Bahwa pengakuan dan pujian bukanlah tujuan akhir. Tujuan sejatinya adalah pengabdian itu sendiri.

Refleksi untuk Kita, Para Orang Tua
Sebagai orang tua di era modern, kita sering kali terjebak dalam perlombaan untuk memberikan yang “terbaik” bagi anak-anak kita. Sekolah terbaik, les terbaik, gadget tercanggih. Kita khawatir mereka akan tertinggal jika tidak memiliki semua itu. Kita sibuk menyiapkan mereka untuk “sukses” dalam definisi dunia: pekerjaan bagus, penghasilan besar, status sosial terpandang.
Kisah Marsellinus Wellip datang sebagai pengingat yang kuat. Apa arti kesuksesan yang sesungguhnya? Apakah itu tentang mengumpulkan harta, atau tentang memperkaya jiwa dengan memberi?
Mungkin, kurikulum terpenting yang perlu kita siapkan untuk anak-anak kita bukanlah semata-mata tentang akademis dan keterampilan teknis. Mungkin, yang lebih mendesak adalah kurikulum tentang kemanusiaan. Mengajarkan mereka untuk melihat dengan mata hati, untuk merasakan penderitaan orang lain, untuk berani melangkah keluar dari zona nyaman demi sebuah tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Kisah Pak Marsel adalah bahan diskusi yang sangat kaya di meja makan kami. Kami membicarakan tentang arti syukur atas kemudahan yang kami miliki. Kami membahas tentang pentingnya menolong tanpa pamrih. Si bungsu bahkan bertanya, “Bunda, kalau aku sudah besar, boleh nggak aku jadi seperti Om Marsel, tapi jadi dokter hewan di hutan?”
Sebuah pertanyaan sederhana yang membuat hati saya menghangat. Bukan, saya tidak berharap anak-anak saya harus pergi ke pedalaman Papua. Tetapi saya berharap, benih semangat Marsellinus Wellip—semangat ketulusan, kegigihan, dan kebermanfaatan—bisa tumbuh subur di dalam hati mereka, di mana pun mereka berada dan apa pun profesi yang mereka pilih kelak.
Ayah dan Bunda, pahlawan seperti Marsellinus Wellip mungkin tidak akan pernah muncul di headline berita setiap hari. Kisah mereka adalah permata tersembunyi. Tugas kitalah untuk menemukannya, memolesnya, dan menghadirkannya sebagai cermin dan teladan bagi generasi penerus kita.
Karena pada akhirnya, kita tidak hanya sedang membesarkan anak-anak yang cerdas secara intelektual, tetapi kita sedang membentuk manusia-manusia yang utuh, yang hatinya hidup dan peduli pada sesama. Dan pelajaran dari sang mantri hutan Papua adalah salah satu warisan terindah yang bisa kita berikan pada mereka. #APA2025-PLM #SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Salam hangat, Vivian Wahab.
Seorang Ibu dari Tiga Pejuang Homeschooling.